Mengapa engkau
tega mencuri hatiku
Tanpa seijin aku
lebih dulu
Aku melihat dia waktu itu,
Dia yang ceria, dia yang senyumnya mempesona, dia yang
baik hati kepada siapapun itu, dan dia yang mempunyai nilai plus karena taqwanya dia kepada sang Khalik.
Pertama kali mengenalnya, sungguh tidak ada rasa
canggung dalam perasaan ini. Dia sungguh Friendly,
dan itu membuat dia selalu banyak kawan.
Tak pernah sekalipun dia tahan melihat orang sedih dan
diam, terutama aku sebagai teman satu kelompok Praktek Asuhan Keperawatan di
ICU. Dia selalu menghibur aku dengan berbagai tingkah dan mimic wajahnya yang lucu. Dalam bentuk
apappun dia berusaha melucu hingga wajahnya mirip badut, tetap tak mengurangi
ketampanannya.
Sungguh, sejak awal dia memang begitu menarik. Lebih menarik
lagi ketika aku menjadi teman satu tim dan dekat dengan dia.
Hari-hariku terasa indah dan bermakna sekali selama aku
praktek dan berteman dengan dia. Dia selalu ringan tangan membantu siapapun,
terutama membantuku. Mengantarku ke asrama, menemaniku makan, mendengarkan
ceritaku, sampai ketika aku marah dan menangis dia yang menghiburku.
Yang aku tahu, aku adalah sosok yang keras kepala,
emosional, galak, dan seenaknya sendiri. Aku sering memarahinya ketika dia
kurang gesit mengerjakan laporan ICU. Aku
sering merajuk ketika kadang dia lebih membantu temanku yang lain. Tapi tetap,
pesonanya tak pernah pudar, dia tetap baik dan baik terhadapku.
Pernah suatu kali aku minta kepada atasan Rumah Sakit
agar dipindahkan dari tim. Ya, kala itu aku marah kepadanya karena dia
menghilangkan laporan kelompok. Sebenarnya aku bisa membuatnya lagi, tapi ada
sebab lain yang membuat aku benar-benar tak ingin bicara lagi dengan dia. Dia
semalam pergi makan dengan Rebecca, temanku bule keturunan Brazil-Malang, aku
cemburu. Ya aku cemburu sekali. Rebecca sudah punya pacar padahal, tapi aku
tetap cembru sekalipun dia sudah bersuami. Agak sedikit aneh memang, tapi aku
tetap tidak suka.
Lalu aku dengan atasan berbicara langsung dengan dia.
Atasan mengutarakan maksudku untuk keluar dari kelompok karena alasanku dia
menghilangkan laporan kelompok. Dia terdiam. Dia mendatangiku. Tapi aku sama
sekali tak mengindahkannya, apalagi membalas sapaannya.
Akhirnya aku keluar dari kelompok. Aku pindah kelompok
lain. Teman-teman menanyaiku kenapa aku jadi seperti itu. Aku hanya menjawab
sekedarnya dan pergi.
Aku tersiksa, benar-benar tersiksa. Tidak satu kelompok
dengan dia, tidak ada dia yang menghibur, tidak ada dia yang mengantar pulang,
sungguh tersiksa. Aku sering marah-marah. Apalagi kalau melihat dia bersama
Rebecca.
Sebenarnya aku tidak punya hak atas semua ini.
Mungkinkah ini perasaan cinta ya, aku mencintainya. Sejak hari pertama aku
melihatnya sholat dengan khusyuk di musholla. Hari itu aku mulai mengamatinya
dan jatuh hati kepadanya.
Tapi dia? Apa iya perasaannya sama dengan apa yang aku
rasakan? tahukah dia tentang perasaan ini?
Berhari-hari dia menyapaku dan aku tetap tak bergeming.
Dan hari itu, ku lihat dia diam. Tak ada lagi senyumnya untukku. Dia sama-sama
acuh.
Aku pergi ke musholla. Aku ingn menangis disana. Tapi,
aku meihat dia. Berdoa di dalam musholla sambil terisak. Ya, dia menangis. Lama
sekali aku melihatnya terisak ditengah doanya. Aku serba salah. Ingin aku
mendekat tapi aku takut.
Tiba-tiba dia menyudahi doanya dan berbalik kearahku.
Aku terkejut. Tak sempat melarikan diri. Aku terdiam mematung. Dia melihatku.
Kami pun terdiam.
“Kamu kenapa?” tanyaku.
“Tidak apa-apa.” Jawabnya sambil tersenyum. Dia berjalan
hendak meninggalkanku. Tapi langkahnya terhenti lagi. “Salsabila, maaf ya.
Gara-gara aku laporan kita hilang. Aku memang bukan bagian dari tim yang baik.
Aku banyak bercanda daripada serius. Aku sering membuatmu gemas dan jengkel
sampai kamu memtuskan keluar dari tim. Maaf ya!”
Aku ingin menangis. Aku seharusnya yang banyak salah.
Aku sering kasar dan egois. Aku sering marah tanpa alasan. Bahkan aku sering
menyuruhmu kesana kemari mengantarku padahal aku memiliki mobil sendiri.
“Iya. Aku juga minta maaf” jawabku pelan.
“Kita berteman lagi kayak dulu ya? Aku sudah menyerahkan
laporan yang aku buat ke Pak Tri. Aku merasa nggak tenang kita seperti ini.”
Sama, Ghani. Aku juga tidak tenang. Apa lagi melihatmu
dengan Rebecca.
“Iya, Ghani.” Jawabku pendek.
“Alhamdulillah. Ya sudah. Sholat dulu sana. Jangan
cemberut lagi ya. Ingat, pemaaf itu adalah salah satu sikap istri idaman, hehe”
katanya sambil memasang muka lucu.
Aku tersenyum. Duh, dia itu. Selalu bisa meluluhkan
hatiku.
Aku menuju tempat wudhu. Ku basuh mukaku. Aku senang ya
Allah. Dia kembali. Kami kembali. Aku pun trenyuh kala melihat dia menangis.
Dia menangis untukku-kah?
Keesokan harinya dia mendekatiku. Kami bercanda seperti
sedia kala. Teman-teman bahkan mencibir kami layaknya pasangan suami istri yang
rujuk lagi. Aku tertawa mendengar ocehan mereka.
Tiba saatnya kami harus berpisah dari praktek Asuhan
Keperwatan dan kembali pada rutinitas dikampus masing-masing. Sedih
menggelayutiku lagi. Haruskah aku berpisah dengan dia?
Malam itu malam terakhir bagi kami. Kami mengadakan
acara renungan perpisahan di bagian belakang Rumah Sakit. Kami menangis
serentak tatkala ketua kelompok mengingatkan masa-masa kita pertama bertemu.
Aku meliha dia. Tak ku sengaja dia melihat kearahku. Darahku berdesir. Ya
Allah, kenapa ini?
Acara renungan telah selesai. Kami semua berputar untuk
saling berjabat tangan. Kini giliranku berjabat tangan dengan dia.
“Ghany, maaf ya atas sikapku selama ini.” Ucapku
terbata-bata.
“Sst, mana Salsa yang tegar, kuat, keras bagai batu
beton?” ucapnya sambil tersenyum. “Mesti mau nangis?” Godanya.
“Yee, enak aja! Ga banget aku nangis.”ucapku sambil
memalingkan muka.
“Beneran?” godanya lagi.
Cess. Air mataku jatuh. Aku benar-benar menangis. “Nanti siapa yang
nganter aku subuh-subuh ke rumah sakit? Siapa yang mukanya bisa berubah kaya
badut saat aku sedih?” ucapku sambil terisak.
“Tidak boleh gitu, Sa! Ingat, setiap pertemuan itu ada
perpisahan. Kamu adalah inspirasiku, Sa. Kamu yang mengajarkan aku kalau
seorang lelaki itu harus gesit, cekatan, dan bisa menjadi imam untuk
perempuan.”
DEG. Jantungku berdetak tak karuan. Apa yang dia ucapkan
barusan? Ya Allah aku senang dia berucap seperti itu.
“Apa? aku inspirasi kamu?” tanyaku tak percaya.
Matanya berbinar, “Iya, kamu inspirasiku. Kamu yang
menyadarkan aku caranya bersikap serius atau santai di dalam situasi. Akan ku
ajarkan kepada istriku 3 bulan lagi. InsyaAllah.”
Dahiku berkerut. Istriku? 3 bulan lagi? Apa maksudnya?
“Oh ya, Sa. 3 bulan lagi selepas wisuda di kampusku, aku
akan menikah. Hadir ya?”
Untuk yang kedua kalinya aku terkejut. Tapi ini lebih
dari sekedar terkejut.
“Maksdu kamu?” kataku terbata-bata.
“Iya, 3 bulan lagi aku menikah. Maaf ya baru ngasih
tahu. Biar kedengeran surprise gitu.,
hehe.” Ucapnya.
Aku memaksakan tersenyum. Pahit ya Rabb. Aku semakin
menangis. Bukan karena sedih berpisah dengannya, tapi karena mendengar dia akan
menikah.
Dia menepuk bahuku, dan berlalu dariku. Ya Allah, aku
lemas kala itu. Ingin rasanya aku ambruk dan pingsan.
Dia yang sempurna dimataku. Dia yang selalu mempesona.
Dia yang hatinya mulia. Dia yang selalu ceria. Ah, ya Allah, ternyata selama
ini aku terlalu tinggi menduga. Aku gadis keras yang tak ada lembutnya, yang
galak tak ada ampunnya, yang pemarah dan besar egosinya, mengharapkan dia?
Aku memutuskan untuk pulang. Menenangkan diriku.
Melupakan dirinya.
Aku bahkan tak seindah
Ku tak seindah kedipan
matamu
Tapi dapatkah kau berikan
senyum untukku
Walau itu bukan cinta,
(Lagu Astri ft Kim,
Saranghamnida)