Senin, 09 Juli 2012

Mom,,


Detik jarum jam dinding di sudut ruang itu menemani sepasang mata sayu yang menerawang di tengah keheningan. Tersirat kekhawatiran yang amat dalam pada raut muka yang telah keriput dimakan usia. Dia hanya duduk termenung sambil sesekali matanya melirik ke arah pintu menunggu seseorang yang muncul di baliknya.
23.45
Dia mendesah. Terdengar bunyi “krek” pada kursi reyot di ruang tamu itu ketika dia beranjak berdiri dari duduknya. Dia melangkah mendekati pintu dan mengintip di balik korden hijau yang warnanya telah lusuh.
“Kemana Isha?” Batinnya.
Tok..tok..tok..
Suara ketukan itu mengejutkannya. Tapi kemudian bibirnya menyungging senyum lega. Mungkinkah Isha? Ia bergegas membuka pintu berharap yang di luar sana orang yang sedari tadi ia nanti.
“Isha, kamu dari mana saja? Kenapa baru pulang selarut ini?” Tanyanya ketika Isha muncul di balik pintu.
Isha hanya diam sambil menerobos masuk ke dalam tanpa menghiraukan pertanyaan ibunya.
“ Isha, ibu sedang bicara padamu!” Ujar ibu seraya membuntuti langkah Isha. “ Kenapa baru pulang selarut ini?”
“Jalan-jalan!” Sahutnya enteng.
“Tapi apa harus selarut ini? Kamu ini perempuan, nak!” Suara ibu agak tertahan.
Isha berbalik ke arah ibu dan menatapnya dengan nada menantang.
“Lalu, kenapa kalau Isha perempuan?”
“Tidak baik perempuan keluyuran sampai selarut ini. Ibu tidak ingin kamu rusak.”
Isha tersenyum jengah.
“Rusak? Isha, bukan seperti ibu!” Ujarnya dingin.
Ibu terperangah. Di tatapnya Isha dengan pandangan tak mengerti.
“Kenapa kamu bicara seperti itu?”
“Karena Isha nggak punya ayah!” pekik Isha berlalu memasuki kamar dan membanting pintunya dengan keras.
Ibu tertegun memandang Isha. Air matanya menetes merasakan nyeri yang menyiksa di lubuk hatinya. Oh, Isha! Andai kau tahu, nak!
Di dalam kamar Isha hanya bisa menangis. Menangisi sikap ibunya yang tak pernah jujur terhadapnya. Isha sebenarnya tak menginginkan menjadi seperti ini. Anak yang badung, pembangkang, dan menyebalkan. Tapi ibunya sendiri yang membuat dia seperti ini. Menjadi dingin dan tak punya hati.
Bertahun-tahun di otaknya hanya ada tanya tentang ayah. Dimana ayah? Masih hidupkah? Isha tak pernah tahu seperti apa wajah ayahnya. Hampir dua puluh empat tahun dia hidup hanya bersama sang ibu. Hanya berdua. Ibu tak pernah mau menjelaskan dimana ayahnya.Selama itu pun Isha hidup dengan teka-teki yang mendera batinnya. Tentang sang ayah.
Ibu selalu bungkam seribu bahasa setiap kali pertanyaan tentang ayah terlontar dari mulut Isha. Jika ayahnya masih hidup, dimana dia sekarang? Dan seandainya telah tiada, adakah tempat pemakamannya? Tak pernah Isha bersikap harmonis terhadap sang ibu selama ibu tidak memberitahukan perihal ayahnya.
Satu yang hanya Isha tahu tentang ayahnya. Hanya nama sang ayah. Hanya itu. Itu pun di akta kelahiran. Selain itu,,Uh! Begitu benci Isha terhadap sang ibu.
Selama bertahun-tahun, Isha hidup dalam kegalauan tentang teka-teki ayahnya. Kenapa ibu tak pernah jujur? Kenapa selalu menyembunyikan perihal ayah? Apa karena Isha anak haram? Apa sebenarnya yang terjadi? Isha begitu membenci ibu. Ibunya yang telah memutuskan tali batin antara Isha dan ayah. Ibunya juga yang membuat dia tersiksa karena hidup tanpa mengenal siapa ayahnya.Semua itu hanya bisa Isha lampiaskan dengan berbuat semaunya. Toh ibu nya tak pernah mau jujur kepadanya!
********

Pagi itu cuaca sedang tak bersahabat. Langit memuntahkan hujan dengan derasnya. Tiada kicauan burung, apalagi sambutan hangat sang mentari.Yang terdengar hanya gemuruh air hujan yang begitu mengusik.
Ibu memasuki kamar Isha, dilihatnya gadis bertubuh jangkung itu duduk termenung di dekat jendela sambil matanya menatap air hujan yang menetes dari atap.
“Kamu punya ayah, nak!” Ujar ibu pelan,mendekati Isha dan membelai lembut kepalanya.
Isha menepis kasar tangan sang Ibu dan berdiri menjauhinya.
“Apa hanya itu yang bisa ibu katakan?” Tanyanya sinis.
Ibu menunduk. Mencoba menahan air matanya agar tidak tertumpah.
“Isha…..”
“Bu,” Potong Isha marah. “Apakah ibu bisa merasakan luka batin yang selama ini Isha terima dari cercaan orang lain karena Isha tidak memiliki ayah?”
“ Kamu punya ayah, nak!” jawab Ibu tersendat.
“Lalu mana ayah Isha? Siapa dia?” Bantah Isha. “Isha butuh penjelasan tentang ayah, bu! Bertahun-tahun Isha tersiksa dengan sikap ibu yang seperti ini. Ibu selalu bungkam dan seolah-olah tak perduli akan perasaan Isha di luar sana. Isha butuh kejujuran. Bukan kebungkaman ibu yang hanya membuat Isha  menjadi seperti orang bodoh yang tak mengerti apa-apa.”
Bibir ibu bergetar. Di pandangnya Isha dengan penuh kasih sayang.
 “Isha ingin punya ayah, bu. Isha ingin hidup normal seperti orang lain.” desahnya dengan mata yang mulai memerah. “Kenapa ibu tidak pernah mau menceritakan tentang ayah? Kenapa ibu selalu menyembunyikan segala tentang ayah?Apa karena Isha anak haram?”
“Bukan, nak. Kamu bukan anak haram….”jawab ibunya lirih
Isha terdiam. Tangannya mengepal menahan segala amarah yang meyesakkan dadanya.
“Ibu belum siap menceritakannya sekarang” Lanjut Ibu.
Isha mendengus,
“Ibu pengecut. Isha benci jadi anak ibu” jeritnya sambil melangkah pergi.
Ibu membuntuti langkah Isha. Di tariknya tangan Isha ketika Isha bergegas keluar dari rumah.
“Kamu mau kemana Isha?”
Isha menarik tangannya dari genggaman ibu dengan kasar. Di tatapnya muka sang ibu dengan tajam.
“Bukan urusan ibu”
“Tapi nak, hujannya sangat lebat. kamu jangan keluar rumah. Ibu tidak ingin sesuatu yang buruk menimpamu jika kamu keluar di tengah gemuruh hujan seperti ini. “ tahan ibu.
“Isha akan pergi dan tidak akan pulang sebelum ibu mampu meyakinkan Isha bahwa Isha memang bukan anak haram.” Sahut Isha sambil terus melangkah meninggalkan ibunya.
Isha keluar dari rumah dan menerobos hujan yang semakin lebat. Tak perduli ia akan dingin dan tusukan air hujan yang membuat sakit kulitnya. Dia terus melangkah ditengah petir yang menyambar-nyambar yang terdengar begitu menyeramkan. Tak di hiraukannya panggilan sang ibu yang memanggil dan membuntuti langkahnya dari belakang.
Isha tidak tahu harus melangkah kemana. Saat ini yang terpikir di benaknya hanyalah pergi jauh-jauh dari ibu yang tak pernah jujur dan membuatnya tersiksa. Untuk apa dia bertahan jikalau ibunya tetap bungkam?
“Isha….” Teriak ibunya memanggil.
Isha terus berjalan, suara ibunya yang terus memanggil dan deru kendaraan bermotor yang berlalu-lalang di jalan tak meyurutkan langkahnya untuk berhenti. Pikirannya kalut. Dia benci dengan kehidupannya yang selalu seperti ini. Dia lelah untuk mengalah. Dia lelah dengan bisik-bisik orang tentang statusnya yang tak berayah. Dia lelah mencari jawaban yang selama ini tak kunjung dia temukan. Dia ingin kepastian. Kepastian dari mulut ibunya.
BRAKKKK..
Isha terkejut mendengar decit roda truk yang begitu keras. Dia menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah kerumunan di balik hujan lebat yang tak jauh dari tempatnya berpijak. Sebuah truck buah menabrak seseorang. Isha hanya memandang sekejap dan melanjutkan langkahnya kembali. Dia ngeri jika membayangkan tragedi kecelakaan,apalagi harus melihatnya.
Tiba-tiba kakinya tertahan. Bukankah ibu tadi mengikuti dirinya? Lalu,kemana ia sekarang? Dadanya berdetak tak beraturan. Perasaan galau menghantam Otaknya. Mungkinkah tadi…
Isha berbalik arah dan berlari kencang ke tempat kerumunan kecelakaan. Dia berjalan menyeruak masuk ke tengah kerumunan orang-orang yang menyaksikan peristiwa kecelakaan itu. Semoga saja bukan ibu, batin Isha,,
Lututnya melemas. Pandangannya mengabur dan bibirnya menggigil. Sosok wanita dengan wajah dan tangan kiri bersimbah darah, terkulai tak berdaya di antara kerumunan manusia di tengah hujan lebat yang tak bersahabat,ternyata orang yang terkapar itu adalah orang yang sedari tadi memanggil dirinya untuk kembali pulang.
******

Tiga hari yang lalu semenjak ibunya mengalami kecelakaan, Isha tak pernah sedikitpun beranjak meninggalkan ibunya yang sampai kini tak kunjung sadar. Dia merasa bahwa dialah penyebab semuanya. Wajah ibunya hampir rusak dan tangan kirinya telah di amputasi karena terlindas oleh ganasnya roda truck. Oh God, betapa menyedihkan melihat kondisi ibunya yang seperti ini. Masih tegakah dia mendesak ibunya menceritakan perihal ayah?
“Isha,kamu pulang dulu saja. Biar suster yang menjaga ibu kamu di sini. Sudah tiga hari kamu nggak pulang kan?” kata Suster Era,yang merawat ibu di rumah sakit,kepada Isha.
“Tapi Sus, Isha nggak tega ninggalin ibu.” Ujar Isha.
“Di sini kan ada suster, percaya deh sama suster.” Suster Era tersenyum penuh arti ke arah Isha.
Isha hanya mengangguk. Dia pun pulang ke rumah untuk melihat keadaan rumahnya dan mengambil tabungan untuk biaya rumah sakit ibunya.
Empat tahun kuliah dengan bantuan beasiswa serta biaya dari ibunya yang bekerja sebagai koki di sebuah restaurant jepang, dia pun mendapat gelar SE,Akutansi dan di terima menjadi akuntan di sebuah perusahaan asing dikota Gudeg. Gajinya pun lumayan banyak karena dia termasuk salah satu akuntan muda yang handal di perusahaan itu.
Ibunya tak pernah meminta hasil jerih payahnya. Dia pun tak pernah menginginkan dibelikan sesuatu dari Isha termasuk memperbaiki rumahnya yang telah lapuk dimakan usia. Selama dia masih mampu memberi suapan nasi untuk Isha, Ibu tidak ingin membebani anaknya.
Isha memasuki kamar ibunya untuk mengambil berbagai kebutuhan yang nantinya diperlukan ibu dirumah sakit. Saat membuka almari pakaian ibunya, matanya tertuju pada sebuah amplop coklat yang tertimbun di antara baju-baju ibu.
Dengan hati-hati Isha membuka isi amplop itu, ada dua lembar surat di dalamnya,,

121162
23:32
Aku sudah tidak mempercayai sesuatu
Sesuatu yang ku hargai, ku junjung tinggi-tinggi
Ku sabari menjaga semuanya
Ternyata tak berarti apa-apa
Semua hanya omong kosong
…………………………………………………
Menyedihkan dan menyakitkan ketika kata cinta yang pernah dia ikrarkan ternyata hanya kepalsuan semata. Janji yang terkesan begitu suci, ternyata tak berarti. Apa karena aku tervonis Infertil, aku jadi tak punya arti apa-apa dimatanya? Aku tidak pernah meminta menjadi wanita yang tidak sempurna, tapi bukankah dia berjanji akan menerima segala kekurangan yang ada pada diriku?
Aku selalu berusaha memberi yang terbaik untuknya, berusaha menjadi yang terindah untuk dia miliki, tapi pada kenyataannya aku tak bisa memberi tanda cinta yang yang ia damba, haruskah perselingkuhan menjadi jalan terbaik baginya?
Rasa nyeri begitu menggerogoti ketika cinta telah terkhianati. Dan luka itu makin menjadi ketika ku tahu wanita itu bisa memberi dia apa yang tak bisa ku lakukan untuknya. Pedih,,,Aku merasa terasing di tengah hidupku yang sepi. Haruskah aku berontak? Pada siapa? Aku sudah tak mempunyai sanak saudara. Mereka telah tiada tertimbun gempa yang murka. Hanya dialah satu-satu orang yang aku punya. Tapi ternyata…
Mungkin aku harus merelakan dia pergi. Tapi, ah! Merelakan dia untuk orang lain? Sedang aku harus teraniaya sepi seperti ini?
Ya Rabb, betapa piciknya aku! Dia tidak bahagia denganku, dia ingin mencari kehidupan yangbisa membuatnya lebih bahagia, kenapa aku tak bisa mengikhlaskannya? Bukankah yang dinamakan cinta adalah melihat orang yang di sayanginya bahagia meski kita harus terluka?
Mungkin aku memang bukan di takdirkan untuknya. Semoga saja dia menemukan kebahagiaan abadi dengan cintanya yang bisa memberi apa yang tak bisa ku beri untuknya.
Tapi, mereka begitu tak punya hati. Setelah berhasil mencabik-cabik hatiku, mereka meninggalkan bayi mungil itu di depan teras rumahku. Entah kemana mereka dan dimana hati nuraninya? Apa maksud mereka dengan sandiwara ini? Begitu tega mereka terhadap darah dagingnya! Bukankah manusia kecil ini yang sekian lama dia harapkan yang tak bisa dia dapatkan dariku? Lalu kenapa dia dan wanitanya membuang bayinya?
Bayi mungil itu tak berdosa, tapi kenapa mereka meninggalkannya begitu saja?
Aku akan merawatnya agar dia tumbuh menjadi gadis jelita yang bijaksana. Ku beri dia nama “Aisha”, agar dia bisa menjadi sosok wanita berjiwa besar dan menjadi teladan buat siapa saja seperti, istri Rasullullah.
Biarlah orang yang ku cinta pergi meninggalkan luka. Biarlah dia menemukan kesempurnaan cinta yang ia damba. Sesakit apapun dia menikam jantungku, Seperih apapun dia menusuk nadiku, aku percaya dia menitipkan Aisha untukku. Akan ku jaga Aisha, walau dia terlahir dari rahim wanita yang telah merebut orang yang ku cinta.

230808
18:05
Aisha telah tumbuh menjadi gadis dewasa. Dia cantik dan pandai. Aku tidak tahu harus berkata apa lagi setiap kali dia menanyakan perihal ayahnya.
Aku tidak pernah bermaksud menyembunyikan apapun darinya, termasuk tentang ayahnya. Satu hal yang aku takutkan jika dia telah mengerti siapa dirinya yang sebenarnya, dia kan pergi meninggalkanku. Karena aku bukan ibunya. Karena aku bukan orang yang mengandung dan melahirkan dia.  Aku takut.. Aku tidak mau kehilangan dia. Walau dia bukan terlahir dari rahimku, aku begitu mengasihinya. Hanya ada dia yang kumiliki di dunia ini.  Aku tidak mau dia terebut oleh siapapun.
Ku mohon, Aisha….
Jangan ingatkan aku lagi tentang ayahmu..

Air mata Aisha menetes. Tangannya bergetar membaca isi surat itu. Ternyata orang yang selama ini hidup dengannya bukan ibunya?
Tapi Siapapun dan seperti apapun dia, Isha begitu menyesal  karena selama ini tak pernah sedikitpun Isha bersikap manis kepadanya. Orang yang dengan tulus mencintai Isha, yang begitu sabar menerima segala sikap buruk dari Isha, yang tak pernah surut kasihnya walau Isha tak pernah membahagiakannya, yang tetap sudi menyayangi Isha walau dia terlahir dari rahim orang yang telah merebut orang yang begitu ia cintai. Oh God, begitu begitu kejamnya Isha? Jika seandainya saat itu Isha di dibiarkan tergeletak kedinginan tak berdaya oleh sikap ayah dan ibu kandungnya yang tak punya hati, akankah dia bisa melihat dunia dengan sesempurna ini?
Untuk apa Isha menanyakan perihal ayahnya, orang yang telah menyianyiakan dirinya dan ibunya? Yang telah membuang Isha dan menyakiti orang yang selama ini merawatnya? Ayah begitu bodoh meninggalkan wanita seagung ibu, mencampakan istri yang begitu memuja dan mengasihi ayah, Ayah tak bisa melihat kesempurnaan di balik kekurangan ibu. Seperti apapun ibu, di mata Isha ibunya adalah wanita paling sempurna, paling mulia, yang sudi memungut dirinya dari tangan ayah dan ibu kandungnya yang telah membuangnya.
“ Ibu, kini Isha berjanji tak akan lagi tanya tentang ayah jika semua itu membuat ibu terluka. Isha tak butuh orang lain karena Isha yakin dengan ibu yang begitu mengasihi Isha mampu membuat hidup Isha selalu penuh akan cinta. Isha hanya ingin ibu.Tak akan ada lagi ucapan menyakitkan yang Isha biarkan keluar dari mulut Isha. Isha berjanji akan selalu menyayangi ibu sebesar sayang ibu terhadap Isha. Isha akan selalu bersama dan menjaga ibu, sampai Sang Khalik mengakhiri hidup Isha. Tak akan Isha biarkan sejengkal langkah Isha meninggalkan ibu.
Maafkan Isha yang selama ini tak pernah membuat ibu bahagia. Maafkan Isha yang selalu membuat ibu terluka. Jika dari dulu Isha tahu pertanyaan itu menyakitkan ibu, sungguh…tak akan sampai hati Isha mengulangnya. Ibu bukan wanita pengecut, justru ibu lah wanita yang paling mulia yang mencintai Isha tanpa memandang siapa Isha sebenarnya. Isha bersyukur memiliki ibu seperti ibu. Anugerah terindah yang Isha miliki adalah menjadikan Isha bagian dari hidup ibu. Isha sayang sama ibu…” batin Isha dengan dada bergetar.
Isha menyimpan surat itu kembali.  Bergegas dia berangkat dan menuju rumah sakit untuk menemui ibunya. Dia ingin mengatakan pada Ibunya bahwa selama ini Isha begitu menyayanginya dan tak mengharapkan apapun jua selain hidup bahagia besama ibunya.
God gave Mom a tear to shed,
It's her exclusively to use whenever it is needed,
It's her only weakness...
It's a tear for mankind..."
********