Sabtu, 17 November 2012

Ku Tak Seindah Kedipan Matamu


Mengapa engkau tega mencuri hatiku
Tanpa seijin aku lebih dulu

Aku melihat dia waktu itu,
Dia yang ceria, dia yang senyumnya mempesona, dia yang baik hati kepada siapapun itu, dan dia yang mempunyai nilai plus karena taqwanya dia kepada sang Khalik.
Pertama kali mengenalnya, sungguh tidak ada rasa canggung dalam perasaan ini. Dia sungguh Friendly, dan itu membuat dia selalu banyak kawan.
Tak pernah sekalipun dia tahan melihat orang sedih dan diam, terutama aku sebagai teman satu kelompok Praktek Asuhan Keperawatan di ICU. Dia selalu menghibur aku dengan berbagai tingkah dan  mimic wajahnya yang lucu. Dalam bentuk apappun dia berusaha melucu hingga wajahnya mirip badut, tetap tak mengurangi ketampanannya.
Sungguh, sejak awal dia memang begitu menarik. Lebih menarik lagi ketika aku menjadi teman satu tim dan dekat dengan dia.
Hari-hariku terasa indah dan bermakna sekali selama aku praktek dan berteman dengan dia. Dia selalu ringan tangan membantu siapapun, terutama membantuku. Mengantarku ke asrama, menemaniku makan, mendengarkan ceritaku, sampai ketika aku marah dan menangis dia yang menghiburku.
Yang aku tahu, aku adalah sosok yang keras kepala, emosional, galak, dan seenaknya sendiri. Aku sering memarahinya ketika dia kurang gesit mengerjakan laporan ICU.  Aku sering merajuk ketika kadang dia lebih membantu temanku yang lain. Tapi tetap, pesonanya tak pernah pudar, dia tetap baik dan baik terhadapku.
Pernah suatu kali aku minta kepada atasan Rumah Sakit agar dipindahkan dari tim. Ya, kala itu aku marah kepadanya karena dia menghilangkan laporan kelompok. Sebenarnya aku bisa membuatnya lagi, tapi ada sebab lain yang membuat aku benar-benar tak ingin bicara lagi dengan dia. Dia semalam pergi makan dengan Rebecca, temanku bule keturunan Brazil-Malang, aku cemburu. Ya aku cemburu sekali. Rebecca sudah punya pacar padahal, tapi aku tetap cembru sekalipun dia sudah bersuami. Agak sedikit aneh memang, tapi aku tetap tidak suka.
Lalu aku dengan atasan berbicara langsung dengan dia. Atasan mengutarakan maksudku untuk keluar dari kelompok karena alasanku dia menghilangkan laporan kelompok. Dia terdiam. Dia mendatangiku. Tapi aku sama sekali tak mengindahkannya, apalagi membalas sapaannya.
Akhirnya aku keluar dari kelompok. Aku pindah kelompok lain. Teman-teman menanyaiku kenapa aku jadi seperti itu. Aku hanya menjawab sekedarnya dan pergi.
Aku tersiksa, benar-benar tersiksa. Tidak satu kelompok dengan dia, tidak ada dia yang menghibur, tidak ada dia yang mengantar pulang, sungguh tersiksa. Aku sering marah-marah. Apalagi kalau melihat dia bersama Rebecca.
Sebenarnya aku tidak punya hak atas semua ini. Mungkinkah ini perasaan cinta ya, aku mencintainya. Sejak hari pertama aku melihatnya sholat dengan khusyuk di musholla. Hari itu aku mulai mengamatinya dan jatuh hati kepadanya.
Tapi dia? Apa iya perasaannya sama dengan apa yang aku rasakan? tahukah dia tentang perasaan ini?
Berhari-hari dia menyapaku dan aku tetap tak bergeming. Dan hari itu, ku lihat dia diam. Tak ada lagi senyumnya untukku. Dia sama-sama acuh.
Aku pergi ke musholla. Aku ingn menangis disana. Tapi, aku meihat dia. Berdoa di dalam musholla sambil terisak. Ya, dia menangis. Lama sekali aku melihatnya terisak ditengah doanya. Aku serba salah. Ingin aku mendekat tapi aku takut.
Tiba-tiba dia menyudahi doanya dan berbalik kearahku. Aku terkejut. Tak sempat melarikan diri. Aku terdiam mematung. Dia melihatku. Kami pun terdiam.
“Kamu kenapa?” tanyaku.
“Tidak apa-apa.” Jawabnya sambil tersenyum. Dia berjalan hendak meninggalkanku. Tapi langkahnya terhenti lagi. “Salsabila, maaf ya. Gara-gara aku laporan kita hilang. Aku memang bukan bagian dari tim yang baik. Aku banyak bercanda daripada serius. Aku sering membuatmu gemas dan jengkel sampai kamu memtuskan keluar dari tim. Maaf ya!”
Aku ingin menangis. Aku seharusnya yang banyak salah. Aku sering kasar dan egois. Aku sering marah tanpa alasan. Bahkan aku sering menyuruhmu kesana kemari mengantarku padahal aku memiliki mobil sendiri.
“Iya. Aku juga minta maaf” jawabku pelan.
“Kita berteman lagi kayak dulu ya? Aku sudah menyerahkan laporan yang aku buat ke Pak Tri. Aku merasa nggak tenang kita seperti ini.”
Sama, Ghani. Aku juga tidak tenang. Apa lagi melihatmu dengan Rebecca.
“Iya, Ghani.” Jawabku pendek.
“Alhamdulillah. Ya sudah. Sholat dulu sana. Jangan cemberut lagi ya. Ingat, pemaaf itu adalah salah satu sikap istri idaman, hehe” katanya sambil memasang muka lucu.
Aku tersenyum. Duh, dia itu. Selalu bisa meluluhkan hatiku.
Aku menuju tempat wudhu. Ku basuh mukaku. Aku senang ya Allah. Dia kembali. Kami kembali. Aku pun trenyuh kala melihat dia menangis. Dia menangis untukku-kah?
Keesokan harinya dia mendekatiku. Kami bercanda seperti sedia kala. Teman-teman bahkan mencibir kami layaknya pasangan suami istri yang rujuk lagi. Aku tertawa mendengar ocehan mereka.
Tiba saatnya kami harus berpisah dari praktek Asuhan Keperwatan dan kembali pada rutinitas dikampus masing-masing. Sedih menggelayutiku lagi. Haruskah aku berpisah dengan dia?
Malam itu malam terakhir bagi kami. Kami mengadakan acara renungan perpisahan di bagian belakang Rumah Sakit. Kami menangis serentak tatkala ketua kelompok mengingatkan masa-masa kita pertama bertemu. Aku meliha dia. Tak ku sengaja dia melihat kearahku. Darahku berdesir. Ya Allah, kenapa ini?
Acara renungan telah selesai. Kami semua berputar untuk saling berjabat tangan. Kini giliranku berjabat tangan dengan dia.
“Ghany, maaf ya atas sikapku selama ini.” Ucapku terbata-bata.
“Sst, mana Salsa yang tegar, kuat, keras bagai batu beton?” ucapnya sambil tersenyum. “Mesti mau nangis?” Godanya.
“Yee, enak aja! Ga banget aku nangis.”ucapku sambil memalingkan muka.
“Beneran?” godanya lagi.
Cess. Air mataku jatuh. Aku benar-benar menangis. “Nanti siapa yang nganter aku subuh-subuh ke rumah sakit? Siapa yang mukanya bisa berubah kaya badut saat aku sedih?” ucapku sambil terisak.
“Tidak boleh gitu, Sa! Ingat, setiap pertemuan itu ada perpisahan. Kamu adalah inspirasiku, Sa. Kamu yang mengajarkan aku kalau seorang lelaki itu harus gesit, cekatan, dan bisa menjadi imam untuk perempuan.”
DEG. Jantungku berdetak tak karuan. Apa yang dia ucapkan barusan? Ya Allah aku senang dia berucap seperti itu.
“Apa? aku inspirasi kamu?” tanyaku tak percaya.
Matanya berbinar, “Iya, kamu inspirasiku. Kamu yang menyadarkan aku caranya bersikap serius atau santai di dalam situasi. Akan ku ajarkan kepada istriku 3 bulan lagi. InsyaAllah.”
Dahiku berkerut. Istriku? 3 bulan lagi? Apa maksudnya?
“Oh ya, Sa. 3 bulan lagi selepas wisuda di kampusku, aku akan menikah. Hadir ya?”
Untuk yang kedua kalinya aku terkejut. Tapi ini lebih dari sekedar terkejut.
“Maksdu kamu?” kataku terbata-bata.
“Iya, 3 bulan lagi aku menikah. Maaf ya baru ngasih tahu. Biar kedengeran surprise gitu., hehe.” Ucapnya.
Aku memaksakan tersenyum. Pahit ya Rabb. Aku semakin menangis. Bukan karena sedih berpisah dengannya, tapi karena mendengar dia akan menikah.
Dia menepuk bahuku, dan berlalu dariku. Ya Allah, aku lemas kala itu. Ingin rasanya aku ambruk dan pingsan.
Dia yang sempurna dimataku. Dia yang selalu mempesona. Dia yang hatinya mulia. Dia yang selalu ceria. Ah, ya Allah, ternyata selama ini aku terlalu tinggi menduga. Aku gadis keras yang tak ada lembutnya, yang galak tak ada ampunnya, yang pemarah dan besar egosinya, mengharapkan dia?
Aku memutuskan untuk pulang. Menenangkan diriku. Melupakan dirinya.

Aku bahkan tak seindah
Ku tak seindah kedipan matamu
Tapi dapatkah kau berikan senyum untukku
Walau itu bukan cinta,
(Lagu Astri ft Kim, Saranghamnida)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar